Beranda | Artikel
Batasan Nasihat Dan Kaidah-Kaidahnya
Senin, 1 Mei 2006

BATASAN NASIHAT DAN KAIDAH-KAIDAHNYA

Oleh
Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan.

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan ditanya : Meskipun ulama telah menjelaskan cara yang syar’i dalam memberi nasihat, terlebih nasihat kepada penguasa, namun sangat disayangkan masih ada juga orang yang berusaha membantah dan mencari-cari alasan demi alasan untuk melakukan tindakan-tindakan anarki yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Padahal persoalan ini telah dibatasi dengan rambu-rambu syariat! Mereka gembar-gemborkan ke mana-mana bahwa nasihat dengan cara yang syar’i bukanlah cara yang ampuh. Mereka beralasan bahwa cara seperti itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap masyarakat padahal telah berlalu sekian tahun tanpa membawa hasil apapun ! Demikian kata mereka.

Mereka beranggapan bahwa untuk mengatasi kondisi seperti ini mereka membolehkan melanggar batas-batas syar’i yang ditetapkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Bagaimana tanggapan Anda dalam masalah ini ?

Jawaban.
Asumsi yang mengatakan bahwa periode memberi nasihat dan menahan sabar sudah berakhir, menurut saya adalah sebuah asumsi yang keliru. Sebab nasihat tidaklah dibatasi dengan jangka waktu tertentu. Namun dibatasi dengan cara dan etika tertentu.

Apakah seluruh metode memberi nasihat telah dilakukan ? Dan apakah tahapan-tahapannya sudah ditempuh ?

Saya beri contoh kasus : Ketika dilakukan perjanjian damai dengan Israel di salah satu negeri Islam, sebagian da’i berunjuk rasa dan berusaha memberontak dan mengkafirkan penguasa negeri itu ! Ironisnya sebelumnya mereka tidak pernah menyinggung-nyinggung masalah tersebut sedikitpun ! Padahal sebelumnya juga terdapat persoalan yang lebih besar dari itu yaitu tidak diterapkannya syariat Allah dan terdapat beberapa kondisi yang sama sekali tidak Islami, sementara para da’i itu tidak berkomentar sedikitpun.

Dan salah satu bukti bahwa permasalahan-permasalahan tidak diletakkan sesuai dengan tempatnya adalah perlakuan tadi disamping masalah menekan perdamaian dengan Yahudi boleh jadi dibenarkan dalam syariat sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena situasi dan kondisi tertentu. Boleh jadi penguasa meyakini tindakannya itu mendatangkan maslahat terlepas benar atau tidaknya tindakah itu, lalu anehnya mengapa permasalahan yang lebih besar dan berbahaya dari itu tidak menjadi alasan untuk menentang dan memberontak penguasa tersebut ? Lalu ketika penguasa itu menandatangani surat perjanjian damai dengan Yahudi segera saja kasus itu diangkat sebagai alasan untuk memberontak dan membangkang !

Saya tegaskan sekali lagi bahwa sebenarnya nasihat belum dilakukan sebagaimana mestinya dan tidak dilakukan secara bertahap serta tidak pula menetapkan skala prioritas yan jelas ! Ini perlu menjadi catatan penting.

Permasalahan kedua : Keyakinan sebagian orang bahwa jika nasihat telah diberikan kepada penguasa dan ternyata tidak diacuhkan maka wajib melakukan pembangkangan secara terang-terangan terhadapnya, baik pembangkangan dengan senjata maupun dengan lisan melalui mimbar-mimbar, koran-koran dan melalui seluruh sarana informasi yang ada.

Satu pertanyaan yang mesti dilontarkan kepada mereka : Mana dalilnya jika nasihat tidak diterima maka kita wajib memberontak ?

Para ahli ilmu menyatakan bahwa kewajiban kita hanyalah memberi nasihat. Jika nasihat itu diberikan berulang kali maka cara itulah yang terbaik. Namun jika memotong kompas yaitu melakukan pemberontakan, tentu saja cara tersebut sangat keliru !

Imam Ahmad pernah ditanya : “Ada seorang yang kedapatan memainkan gitar, apakah kita harus mengingkarinya ?” Beliau menjawab : “Ya, ingkarilah ia, jangan biarkan ia melakukannya !” Si penanya melanjutkan pertanyaannya : “Bolehkah saya laporkan kepada pemerintah ?” Beliau menjawab : “Boleh saja jika engkau mau !”.

Perhatikanlah jawaban beliau tersebut ! Sebuah kemungkaran yang terjadi di negeri yang aman, diperintah oleh seorang penguasa muslim yang berhukum dengan hukum Allah akan tetapi Imam Ahmad memberikan kebebasan kepada si penanya, ia boleh melaporkannya kepada pemerintah atau jika tidak maka pemerintah sendirilah yang berwenang menindak pelakunya.

Beliau menetapkan adanya hak pengingkaran dengan lisan, ia boleh menyatakan bahwa perkara tersebut haram dan mungkar, sampai di situ sajalah kewajiban Anda !

Dari siti jelaslah bahwa tidak semua perkara mungkar mesti dilaporkan kepada penguasa. Jika ternyata dilaporkan maka itu merupakan salah satu langkah melebihi kewajiban yang dibolehkan.

Sebenarnya tugas yang wajib diketahui oleh penguasa, yaitu hendaknya ia memiliki mata-mata yang melaporkan kepadanya perbuatan-perbuatan mungkar. Sementara tugas dan kewajiban Anda telah selesai, yaitu memberi nasihat.

Sebab pada dasarnya nasihat itu adalah kewajiban setiap muslim, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya, “Agama itu adalah nasihat” Beliau membaginya menjadi lima bagian : “Bagi Allah, KitabNya, RasulNya, bagi Penguasa dan Segenap Kaum Muslimin”.

Apakah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setelah menasihati penguasa engkau harus memberontak terhadapnya ?

Apakah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada engkau: Jika engkau telah memberi nasihat kepada kaum muslimin atau kepada seorang muslim namun ia tidak mengacuhkannya lantas engkau boleh membunuh, mencambuk atau memukulnya dengan alasan ia tidak mendengarkan nasihat ? Tentu saja tidak boleh ! Itu bukan kewajiban dan kewenanganmu ! Pelaksanaan hukuman, memenjarakan, menjatuhkan sanksi merupakan wewenang pemerintah.

Jadi engkau tidak boleh melangkah kepada prosedur berikutnya kecuali dengan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Menurut saya, nasihat harus diberikan secara kontinyu dan berkesinambungan jangan sampai putus, tidak ada prosedur lain setelah nasihat. Ingat ! Kewajiban Anda hanyalah memberi nasihat. Ada beberapa cara dan metode dalam memberi nasihat. Orang yang arif dan bijaksana tentunya dapat melihat bahwa banyak sekali cara dan metode yang belum ditempuh !

Harus kita tekankan disini bahwa nasihat tidak dapat dibatasi dengan waktu. Hanya orang-orang yang sempit pandangan saja yang membatasi nasihat dengan jangka waktu tertentu. Ini jelas musibah. Sebuah perkara yang sudah dimaklumi oleh para dokter bahwa pengobatan tentunya membutuhkan waktu yang tidak dapat ditentukan secara pasti batas waktunya. Khususnya bagi penderita penyakit kronis atau telah menderita penyakit selama bertahun-tahun. Biasanya ia tidak dapat langsung sembuh dalam waktu sehari dua hari atau sebulan dua bulan.

Maka dari itu, nasihat tidak boleh ditindak lanjuti dengan melakukan pemberontakan bagaimanapun bentuknya terhadap penguasa.

[Disalin dari kitab Muraja’att fi Fiqhil Waqi’ As-Siyasi wal Fikri ‘ala Dhauil Kitabi wa Sunnah, edisi Indonesia Koreksi Total Masalah Politik & Pemikiran Dalam Perspektif Al-Qur’an & As-Sunnah, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Penyusun Dr. Abdullah bin Muhammad Ar-Rifai. Penerbit Darul Haq – Jakarta, Penerjemah Abu Ihsan Al-Atsari]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1825-batasan-nasihat-dan-kaidah-kaidahnya.html